Sabtu, 10 Januari 2015

Aku Kini dan Dulu

Awalnya aku asangat keberatan dengan keputusan kakaku, untuk memasukkan aku ke salah satu pondok pesantren di Jogja. Melihat teman-teman sekelasku sibuk mendaftar ke berbagai sekolah umum di kotaku, perasaanku semakin sedih. Padahal, aku sudah membayangkan bias sekolah di salah satu SMA yang ada di daerahku, karena kebanyakan temanku masuk di sana. Ditambah, aku masih sering meras risih melihat wanita-wanita berkerudung besar.
            Saat itu, perasaanku makin tak karuan. Apa yang aku inginkan tak kesampaian. Tampaknya, kakak mengerti perasaanku, terbukti pagi itu aku diajak mendaftar ke sebuah SMK di kotaku. Hemm, senangnya hatiku, karena akhirnya hasratku bias terkabul. Namun, ternyata sangkaanku salah, karena secara tak sengaja, aku pernah mendengar obrolan kakak, yang isinya mengatakan, bahwa meskipun aku diterima di SMK itu, aku akan tetap dimasukkan ke pondok. Nangis aku saat itu…...
            Di hahri lain, kakakku yang lain, yang tinggal di luar kota, dating menasehati aku, agar aku mau masuk ke pondok. Namun aku sudah kudung dongkol, nasehatnya tak aku gubris sama sekali. Bahkan belum selesai beliau bicara, aku sudah ngeloyor pergi. Astaghfirullah….
            Akhirrnya aku mengalah juga. Meski terpaksa, aku menerima keputusan untuk dimasukkan ke pondok. Ditemani ibu dan teman-teman sedaerah yang sudah bersekolah di sana, aku berangkat ke sana. Kakak yang menyempatkan melepas kepergianku, hanya aku hadiahi” jabat tangan dingin, tanpa aku tengok atau lihat wajahnya sedikitpun. Terlaluu….
            Setelah tiba di pondok dan menikmati masa-masa awal tinggal di dalamnya, perasaanku senang sekali, karena aku berfikir bahwa disini, aku akan bisa bebas, tak ada keluarga yang bisa mengaturku. Tapi pikiranku salah, karena ternyata peraturannya ketat sekali. Contoh, kalu bukan jam tidur tapi kepergok memrem mau tidur aja, alamat hukuman sudah menenti. Bisa-bisa disuruh ngepel (sambil terkantuk-kantuk tentunya).
            Kehidupan baru di pondok terasa sangat berat bagiku. Setiap ada keluarga telepon dan bertanya, “kerasan tidak??”. Mau jawab jujur, tak tega. Tapi mau bilang kerasan, nyatanya aku benar-benar tak kerasan!? Sungguh, bagai buah simalakama. Sedih banget rasanya, aku Cuma bisa nangis tiap hari. Alhamdulillah, keberadaan teman-teman “senasib”, sangat mebangkitkan semangatku. Ukhuwah yang terjalin padu, sedikit banyak bisa menutupi kegundahahn hatiku.
            Suatu malam, aku bermimpi bertemu dengan bapakku, yang sudah lama meninggal. Beliau bertanya, “kamu kerasan tidak di pondok??”     “tidak”, jawabku.  “dibetah-betahin yaa…”, pesan bapak.
            Belakangan aku baru tau, bahwa keputusan untuk menyekolahkanku di pondok, adalah wasiat dari bapakku. Ya Allah, kasihanilah bapakku, sebagaimana beliau mengasihi, merawat dan melindungiku selama ini. Semoga aku bisa menjadi anak yang sholeh, sebagaimana harapan beliau dengan menyuruhku masuk ke pondok.
            Semenjak itu aku berusaha lebih enjoy menikmati hidup di pondok ini, bagaimanapun tak enaknya. Apa lagi persaudaraan antar teman sekelas sangat erat dan dekat. Kondisi ini, makin menguatkan hati, semangat sekaligus tekadku, untuk tidak melanggar amanat bapak, serta kepercayaan dari keluargaku. Aku merasa wajib membalas semua dulungan dan pengorbanan kakak beserta keluarga, dengan belajar ilmu agama sebaik-baiknya.
            Alhamdulillah, aku sudah meras nyaman menjadi akhwat dan memakai pakaian yang dulunya aku sangat risih melihatnya.
            Empat tahun suda, bersama teman-teman kami lalui hidup di pondok. Tiga tahun belajar, plus setahun tugas pengabdian. Kami kebagian job berbeda-beda, ada yang mengajar TK, SD, atau menyimak tahfidz, dan lain-lain.
                                                                            ***                                     
            Setelah masa pengabdian selesai, tibalah waktu yang kami tunggu-tunggu, sekaligus kami takutkan. Di satu sisi, kami bahagia bisa kembali ke rumah dan bertemu dengan keluarga yang sudah lama kami tinggalkan. Di sisi lain, kami juga sedih karena inilah saat perpisahan kami. Apalagi, saat membayangkan kemungkinan kami untuk bertemu lagi di masa mendatang sangat kecil karena kami berasal dari kota yang berjauhan. Terlebih, melihat status kami sebagai akhwat yang ruang geraknya terbatas. Akhirnya, hanya pada Allah kami  pasrahkan jiwa-jiwa kami. Hanya kepada-Nya kami memohon kekuatan menghadapi perpisahan ini.
            Meski berlangsung relative ramai, karena dibarengkan dengan pameran produk, plus dengan diundangnya guru-guru dari luar & wali santri, namun semua iti tak bisa mengahpus kesedihan kami. Selesai acara, sambil bertangisan kami saling berpamitan, untuk segera kembali ke daerah masing-masing. Perasaan kami saat itu, tak bisa digambarkan.
            Sekembalinya di rumah, lambat laun aku dihinggapi rasa bosan. Aku kangen dengan suasana belajar dan canda ria teman-teman. Ingin rasanya kembali lagi ke pondok, tapi aku yakin itu tak mungkin karena semua ada masanya. Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Itu sudah hakikat hidup.
            Sekarang aku di sini menjalani hari-hari sebagai seorang manusia baru, yang berbeda dengan diriku 4 tahun lalu. Aku bukan lagi gadis kecil yang egois, dan hanya bisa membantah nasehat kakak dan keluargaku. Aku sekarang seorang akhwat berjubah longgar berjilbab besar, yang harus tau balas budi atas jasa kakak dan ibu, yang selama ini mendukung dan mendoakanku. Aku sekarang adalah seorang muslimah yang sudah dikaruniai hidayah dan ilmu, yang harus bisa jadi teladan dan kebaikan. Aku sekarang adalah seorang daiyyah, yang punya amanah untuk memperbaikki masyarakat dan umat.
            Semoga Allah membalas jasa baik kakak yang tak kenal lelah mendorongku menuntut ilmu, sehingga aku menjadi sekarang ini. Dan tak lupa ibu, yang tak pernah bosan mendoakanku.
            Di sisa umur yang aku miliki, aku bertekad untuk membahagiakan mereka, yang selama ini tak pernah kudengar nasehatnya, dan justru terlalu sering kusakiti.

(Bunga)