Awalnya
aku asangat keberatan dengan keputusan kakaku, untuk memasukkan aku ke salah
satu pondok pesantren di Jogja. Melihat teman-teman sekelasku sibuk mendaftar
ke berbagai sekolah umum di kotaku, perasaanku semakin sedih. Padahal, aku
sudah membayangkan bias sekolah di salah satu SMA yang ada di daerahku, karena
kebanyakan temanku masuk di sana. Ditambah, aku masih sering meras risih
melihat wanita-wanita berkerudung besar.
Saat itu, perasaanku makin tak
karuan. Apa yang aku inginkan tak kesampaian. Tampaknya, kakak mengerti
perasaanku, terbukti pagi itu aku diajak mendaftar ke sebuah SMK di kotaku.
Hemm, senangnya hatiku, karena akhirnya hasratku bias terkabul. Namun, ternyata
sangkaanku salah, karena secara tak sengaja, aku pernah mendengar obrolan
kakak, yang isinya mengatakan, bahwa meskipun aku diterima di SMK itu, aku akan
tetap dimasukkan ke pondok. Nangis aku saat itu…...
Di hahri lain, kakakku yang lain,
yang tinggal di luar kota, dating menasehati aku, agar aku mau masuk ke pondok.
Namun aku sudah kudung dongkol, nasehatnya tak aku gubris sama sekali. Bahkan
belum selesai beliau bicara, aku sudah ngeloyor pergi. Astaghfirullah….
Akhirrnya aku mengalah juga. Meski
terpaksa, aku menerima keputusan untuk dimasukkan ke pondok. Ditemani ibu dan
teman-teman sedaerah yang sudah bersekolah di sana, aku berangkat ke sana.
Kakak yang menyempatkan melepas kepergianku, hanya aku hadiahi” jabat tangan
dingin, tanpa aku tengok atau lihat wajahnya sedikitpun. Terlaluu….
Setelah tiba di pondok dan menikmati
masa-masa awal tinggal di dalamnya, perasaanku senang sekali, karena aku
berfikir bahwa disini, aku akan bisa bebas, tak ada keluarga yang bisa
mengaturku. Tapi pikiranku salah, karena ternyata peraturannya ketat sekali.
Contoh, kalu bukan jam tidur tapi kepergok memrem mau tidur aja, alamat hukuman
sudah menenti. Bisa-bisa disuruh ngepel (sambil terkantuk-kantuk tentunya).
Kehidupan baru di pondok terasa sangat
berat bagiku. Setiap ada keluarga telepon dan bertanya, “kerasan tidak??”. Mau jawab jujur, tak tega. Tapi mau bilang
kerasan, nyatanya aku benar-benar tak kerasan!? Sungguh, bagai buah simalakama.
Sedih banget rasanya, aku Cuma bisa nangis tiap hari. Alhamdulillah, keberadaan
teman-teman “senasib”, sangat mebangkitkan semangatku. Ukhuwah yang terjalin
padu, sedikit banyak bisa menutupi kegundahahn hatiku.
Suatu malam, aku bermimpi bertemu
dengan bapakku, yang sudah lama meninggal. Beliau bertanya, “kamu kerasan tidak
di pondok??” “tidak”, jawabku. “dibetah-betahin yaa…”, pesan bapak.
Belakangan aku baru tau, bahwa
keputusan untuk menyekolahkanku di pondok, adalah wasiat dari bapakku. Ya
Allah, kasihanilah bapakku, sebagaimana beliau mengasihi, merawat dan
melindungiku selama ini. Semoga aku bisa menjadi anak yang sholeh, sebagaimana
harapan beliau dengan menyuruhku masuk ke pondok.
Semenjak itu aku berusaha lebih
enjoy menikmati hidup di pondok ini, bagaimanapun tak enaknya. Apa lagi
persaudaraan antar teman sekelas sangat erat dan dekat. Kondisi ini, makin
menguatkan hati, semangat sekaligus tekadku, untuk tidak melanggar amanat
bapak, serta kepercayaan dari keluargaku. Aku merasa wajib membalas semua
dulungan dan pengorbanan kakak beserta keluarga, dengan belajar ilmu agama
sebaik-baiknya.
Alhamdulillah, aku sudah meras nyaman
menjadi akhwat dan memakai pakaian yang dulunya aku sangat risih melihatnya.
Empat tahun suda, bersama
teman-teman kami lalui hidup di pondok. Tiga tahun belajar, plus setahun tugas
pengabdian. Kami kebagian job berbeda-beda, ada yang mengajar TK, SD, atau
menyimak tahfidz, dan lain-lain.
***
Setelah masa pengabdian selesai,
tibalah waktu yang kami tunggu-tunggu, sekaligus kami takutkan. Di satu sisi,
kami bahagia bisa kembali ke rumah dan bertemu dengan keluarga yang sudah lama
kami tinggalkan. Di sisi lain, kami juga sedih karena inilah saat perpisahan
kami. Apalagi, saat membayangkan kemungkinan kami untuk bertemu lagi di masa
mendatang sangat kecil karena kami berasal dari kota yang berjauhan. Terlebih,
melihat status kami sebagai akhwat yang ruang geraknya terbatas. Akhirnya,
hanya pada Allah kami pasrahkan
jiwa-jiwa kami. Hanya kepada-Nya kami memohon kekuatan menghadapi perpisahan
ini.
Meski berlangsung relative ramai,
karena dibarengkan dengan pameran produk, plus dengan diundangnya guru-guru
dari luar & wali santri, namun semua iti tak bisa mengahpus kesedihan kami.
Selesai acara, sambil bertangisan kami saling berpamitan, untuk segera kembali
ke daerah masing-masing. Perasaan kami saat itu, tak bisa digambarkan.
Sekembalinya di rumah, lambat laun
aku dihinggapi rasa bosan. Aku kangen dengan suasana belajar dan canda ria
teman-teman. Ingin rasanya kembali lagi ke pondok, tapi aku yakin itu tak
mungkin karena semua ada masanya. Ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Itu
sudah hakikat hidup.
Sekarang aku di sini menjalani
hari-hari sebagai seorang manusia baru, yang berbeda dengan diriku 4 tahun
lalu. Aku bukan lagi gadis kecil yang egois, dan hanya bisa membantah nasehat
kakak dan keluargaku. Aku sekarang seorang akhwat berjubah longgar berjilbab
besar, yang harus tau balas budi atas jasa kakak dan ibu, yang selama ini
mendukung dan mendoakanku. Aku sekarang adalah seorang muslimah yang sudah
dikaruniai hidayah dan ilmu, yang harus bisa jadi teladan dan kebaikan. Aku
sekarang adalah seorang daiyyah, yang punya amanah untuk memperbaikki
masyarakat dan umat.
Semoga Allah membalas jasa baik
kakak yang tak kenal lelah mendorongku menuntut ilmu, sehingga aku menjadi
sekarang ini. Dan tak lupa ibu, yang tak pernah bosan mendoakanku.
Di sisa umur yang aku miliki, aku
bertekad untuk membahagiakan mereka, yang selama ini tak pernah kudengar
nasehatnya, dan justru terlalu sering kusakiti.
(Bunga)